Bahasa al-Qur’an
adalah bahasa yang indah, mendalam, mudah dimengerti dan tak pernah
habis untuk dikaji. Kajian tentang bahasa terpusat pada dua hal,
struktur dan makna. Makna sangat terkait dengan konteks. Satu makna yang
diungkapkan dengan berbagai kata, salah satu katanya tidak akan mampu
mewakili atau menggantikan yang lain. Struktur bahasa al-Qur’an
menempatkan posisi huruf dan posisi kata dalam kalimat sangat tepat dan
mengandung makna mendalam. Gaya bahasanya, juga berbeda dengan gaya
bahasa orang-orang Arab pada umumnya.
Di antara gejala stilistik (gaya bahasa) yang menarik perhatian dalam susastra al-Qur’an adalah gejala tidak diperlukannya fa’il (subjek) atau kalimat tak bersubjek dalam al-Qur’an, khususnya pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hari Kiamat. Hal tersebut sangat menarik untuk dikaji, karena struktur kalimat ini konsisten dan terdapat di seluruh ayat tentang hari kiamat.
Jika struktur kalimat bahasa Indonesia terdiri dari Subjek Predikat Objek dan Keterangan (SPOK), maka struktur kalimat (verbal) bahasa Arab terdiri dari Predikat (فعل) Subjek (فاعل) Objek (مفعول) dan Keterangan (PSOK).
Contoh :
Bahasa Indonesia : Muhammad menulis buku di kelas (SPOK)
Bahasa Arab : كتب محمد الكتاب فى الفصل (PSOK)
Terkait dengan hal tersebut, struktur bahasa al-Qur’an ternyata tak selamanya terdiri dari PSOK. Ada beberapa kalimat yang tidak mencantumkan subjeknya, baik dalam kalimat aktif (معلوم) maupun kalimat pasif (مجهول), terutama pada ayat-ayat yang membahas tentang hari kiamat. Dan hal tersebut, alih-alih menyimpang dan tidak konsisten, justru menambah kedalaman maknanya.
Kalimat tak bersubjek ini bisa terjadi dalam 2 kondisi
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ نَفْخَةٌ وَاحِدَةٌ وَحُمِلَتِ الأرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً
Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur
Dan pada surat al-‘adiyat (100) : 9-11
أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ
Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
Pada ayat-ayat tersebut (sangkakala ditiup, dibangkitkan), subjeknya tidak disebutkan karena ini adalah kalimat pasif. Tentu ini bukan hal yang kebetulan. Hampir di semua ayat yang membahas tentang hari kiamat, kalimat yang digunakan adalah kalimat pasif yang tidak dijelaskan siapa pelaku yang melakukan aktivitas tersebut.
فَإِذَا انْشَقَّتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ وَرْدَةً كَالدِّهَانِ
Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.
Dan pada surat al-Infithar (82) : 1-2
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ
Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,
Pada ayat-ayat tersebut (langit terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan), sebetulnya subjeknya ada yaitu langit dan bintang, karena ini memang kalimat aktif. Tetapi pelaku utama sesungguhnya yaitu (Allah) yang mengendalikan semua peristiwa kiamat, hampir di kebanyakan ayat tentang hari kiamat, tidak disebutkan. Mengapa redaksi yang dipilih bukan “Allah membelah langit” tapi “apabila langit terbelah?”, tentu ini ada maksud, tujuan serta argumentasinya.
Belum lagi, kata kerja yang dipilih adalah kata kerja bentuk lampau (fi’il madhi) bukan kata kerja bentuk sekarang atau yang akan datang (fi’il mudhari), padahal peristiwa tentang hari kiamat ini belum terjadi. Hampir di semua ayat yang membahas tentang hari kiamat, kata kerja yang digunakan adalah kata kerja bentuk lampau. Ada memang yang menggunakan fi’il mudhari’ tapi jumlahnya sedikit. Contohnya adalah dalam surat an-Naba, 78: ayat 18.
يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا
yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok
Tentu ini juga menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.
Dari berbagai sumber, ada beberapa argumentasi yang bisa menjelaskan fenomena tersebut adalah :
Wallahu’alam bish-shawwab
Referensi:
Wassalam
Eva Novita Ungu
Rabu, 23 Januari 2013
Betapa Engkau begitu cermat dan detail dalam penggunaan bahasa kitab-Mu … Maha Suci Engkau
Di antara gejala stilistik (gaya bahasa) yang menarik perhatian dalam susastra al-Qur’an adalah gejala tidak diperlukannya fa’il (subjek) atau kalimat tak bersubjek dalam al-Qur’an, khususnya pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hari Kiamat. Hal tersebut sangat menarik untuk dikaji, karena struktur kalimat ini konsisten dan terdapat di seluruh ayat tentang hari kiamat.
Jika struktur kalimat bahasa Indonesia terdiri dari Subjek Predikat Objek dan Keterangan (SPOK), maka struktur kalimat (verbal) bahasa Arab terdiri dari Predikat (فعل) Subjek (فاعل) Objek (مفعول) dan Keterangan (PSOK).
Contoh :
Bahasa Indonesia : Muhammad menulis buku di kelas (SPOK)
Bahasa Arab : كتب محمد الكتاب فى الفصل (PSOK)
Terkait dengan hal tersebut, struktur bahasa al-Qur’an ternyata tak selamanya terdiri dari PSOK. Ada beberapa kalimat yang tidak mencantumkan subjeknya, baik dalam kalimat aktif (معلوم) maupun kalimat pasif (مجهول), terutama pada ayat-ayat yang membahas tentang hari kiamat. Dan hal tersebut, alih-alih menyimpang dan tidak konsisten, justru menambah kedalaman maknanya.
Kalimat tak bersubjek ini bisa terjadi dalam 2 kondisi
- Kalimat pasif
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ نَفْخَةٌ وَاحِدَةٌ وَحُمِلَتِ الأرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً
Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur
Dan pada surat al-‘adiyat (100) : 9-11
أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ
Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada, sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
Pada ayat-ayat tersebut (sangkakala ditiup, dibangkitkan), subjeknya tidak disebutkan karena ini adalah kalimat pasif. Tentu ini bukan hal yang kebetulan. Hampir di semua ayat yang membahas tentang hari kiamat, kalimat yang digunakan adalah kalimat pasif yang tidak dijelaskan siapa pelaku yang melakukan aktivitas tersebut.
- Kalimat aktif
فَإِذَا انْشَقَّتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ وَرْدَةً كَالدِّهَانِ
Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.
Dan pada surat al-Infithar (82) : 1-2
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ
Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,
Pada ayat-ayat tersebut (langit terbelah, bintang-bintang jatuh berserakan), sebetulnya subjeknya ada yaitu langit dan bintang, karena ini memang kalimat aktif. Tetapi pelaku utama sesungguhnya yaitu (Allah) yang mengendalikan semua peristiwa kiamat, hampir di kebanyakan ayat tentang hari kiamat, tidak disebutkan. Mengapa redaksi yang dipilih bukan “Allah membelah langit” tapi “apabila langit terbelah?”, tentu ini ada maksud, tujuan serta argumentasinya.
Belum lagi, kata kerja yang dipilih adalah kata kerja bentuk lampau (fi’il madhi) bukan kata kerja bentuk sekarang atau yang akan datang (fi’il mudhari), padahal peristiwa tentang hari kiamat ini belum terjadi. Hampir di semua ayat yang membahas tentang hari kiamat, kata kerja yang digunakan adalah kata kerja bentuk lampau. Ada memang yang menggunakan fi’il mudhari’ tapi jumlahnya sedikit. Contohnya adalah dalam surat an-Naba, 78: ayat 18.
يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا
yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok
Tentu ini juga menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.
Dari berbagai sumber, ada beberapa argumentasi yang bisa menjelaskan fenomena tersebut adalah :
- Kalimat berpola majhul (pasif) mengandung unsur pemusatan perhatian kepada peristiwa, bukan kepada siapa / apa pelakunya. Fokus kejadian pada hari kiamat akan terlihat pada peristiwanya, karena saat hari kiamat seluruhnya akan hancur tak bersisa sehingga saat itu tidak ada lagi pertanyaan siapa pelaku utama yang menghancurkan semuanya.
- Fenomena tersebut menunjukkan peristiwa tersebut prosesnya terjadi secara sukarela, mekanik atau dieksploitasi sehingga tidak memerlukan pelaku. Alam memiliki karakternya sendiri, jika dieksploitasi oleh manusia, ia bisa hancur lebih cepat. Sehingga perbuatan manusia sendirilah yang menyebabkan peristiwa alam itu terjadi.
- Kata kerja bentuk lampau yang digunakan untuk peristiwa mendatang menunjukkan bahwa peristiwa itu pasti terjadi, sehingga digambarkan seolah-olah sudah terjadi. Hal ini dibahas pada ilmu Balaghah, khususnya kajian Ma’ani, dalam tema ‘uduul (penyimpangan). Penyimpangan ini hanya dari sisi redaksi, tapi secara makna, sesungguhnya maknanya sangat mendalam
Wallahu’alam bish-shawwab
Referensi:
- Ensiklopedia Mujizat al-Qur’an dan Hadits, Hisyam Thalbah dkk
- Al-Balaghah al-Qur’aniyyah, Prof Hidayat.
- Al-Quran yang Menakjubkan, Prof. Issa J. Boullata
Wassalam
Eva Novita Ungu
Rabu, 23 Januari 2013
Betapa Engkau begitu cermat dan detail dalam penggunaan bahasa kitab-Mu … Maha Suci Engkau
No comments:
Post a Comment