Entah sejak kapan
saya memiliki salah satu dari mimpiku ini, ingin mengunjungi sebuah
Negara yang bernama Mesir. Mungkin sejak saya kuliah di UNPAD, sejak
saya mengenal lebih jauh tentang Negara ini. Mungkin sejak salah seorang
sahabatku meminjamkan CD tentang Negara-negara di Timur Tengah. Saat
saya melihat CD tersebut, lengkap dengan gambaran visual tentang kondisi
negaranya, saya semakin jatuh cinta.
Tahun 2000/2001 ,
saya pernah ikut tes seleksi untuk mendapatkan beasiswa kuliah pasca
sarjana di Universitas al-Azhar Kairo. Seleksi nya di UIN Jakarta, masih
IAIN saat itu. Peserta nya dari seluruh Indonesia yang jumlahnya
ratusan orang, tapi yang akan diberangkatkan hanya 22 orang. Seleksinya
terdiri dari tes tulis dan hafalan al-Qur’an 8 juz, dan sudah pasti
hasilnya saya tidak lulus.
Tetapi mimpi untuk mengunjungi
Mesir tak pernah hilang. Akhirnya saya putuskan untuk menabung, jika
tidak bisa berangkat dengan beasiswa, maka saya harus berusaha kuat
untuk berangkat dengan biaya sendiri. Bertahun-tahun saya menabung,
akhirnya di tahun 2008 saya memberanikan diri untuk minta restu orang
tua. Saya memutuskan untuk berrhenti bekerja, dan pergi mewujudkan mimpi
saya ke Mesir, dengan tabungan saya seadanya. Saya berfikir sederhana
waktu itu, yang penting adalah biaya untuk berangkat dan akomodasi
secukupnya, selanjutnya bisa mencari disana.
Tahapan-tahapan
keberangkatan pun saya lakukan, mulai dari mencari koneksi ke Mesir,
melakukan shalat istikharah, dan terakhir meminta ijin orang tua di
Tasikmalaya. Perlahan-lahan saya bicara dengan ayah saya dulu, beliau
tidak mempermasalahkan, yang penting restu ibu, ujarnya. Inilah tahap
yang paling sulit saya lakukan, berbicara dari hati ke hati dengan ibu
saya, menjelaskan mimpi-mimpi saya, dan secara tak terduga jawabannya
sangat singkat yaitu tidak boleh. Ketika saya tanya alasannnya, alasan
beliau sangat sederhana, hanya tidak ingin jauh dengan anak bungsunya
ini. Senang sekaligus sedih bercampur baur saat itu. Senang karena saya
semakin tahu betapa orang tua sangat menyayangi saya (ya iya lah mana
ada orang tua yang tidak saying dengan anaknya), di sisi lain, sedih
karena dengan begitu saya harus mengubur dalam-dalam mimpi saya. Bahkan
saat saya jelaskan, saya hanyalah salah seorang anak diantara 5 orang
anaknya, yang keempat anak lainnya sudah ada tidak jauh dari mereka,
hanya di Tasik dan Tangerang, yang kapan pun bisa bertemu, ibu saya
tetap tak bergeming.
Hancur sudah harapan saya, saya tak
mungkin pergi tanpa restu orang tua, walaupun saya sudah menabung untuk
mempersiapkan keberangkatan saya, semuanya terasa menjadi sia-sia, saat
saya tak jua bisa mewujudkan mimpi saya. Saya pun memutuskan kembali ke
Tangerang, melanjutkan pekerjaan saya. Sepanjang perjalanan Tasikmalaya
Tangerang, air yang tak pernah saya undang, mengucur deras dari kedua
mata saya. Setelah itu, hari-hari saya menjadi sangat tidak berwarna
indah, hanya ada kesedihan, luka dan air mata (lebay banget dah).
Sejenak
saya melupakan mimpi itu, tapi sahabat-sahabat dekat saya tau, betapa
mimpi tersebut sesungguhnya tak pernah mau hilang dari benak saya. Saat
saya menonton Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta bertasbih di bioskop,
yang mengambil setting Negara MESIR, saya tak henti-hentinya menangis,
hingga mata saya bengkak. Saya semakin yakin, bahwa jauh di dalam lubuk
hati saya, mimpi itu masih ada, dan semakin kuat bertahta.
Dan
di awal tahun ini, tak percaya rasanya, mimpi itu pun akan terwujud
juga. Mimpi yg saya pendam semasa sya kuliah dulu, akhirnya terwujud
juga setelah menanti selama 13 tahun lebih. Terima kasih utk semua
sahabat, teman, saudara, partner kerja, dan semua orang yg percaya dg
kekuatan mimpi. Jangan pernah berhenti bermimpi dan jangan pernah
berhenti utk meyakini bahwa apapun bisa terjadi, Jika Allah menghendaki.
Dan Dial ah sebaik2 pembuat scenario, kenapa saya tidak berangkat
beberapa tahun lalu, kenapa baru berangkat sekarang, pasti semuanya
indah pada waktunya.
ALHAMDULILLAH, SEGALA PUJI BAGI-MU RABB
Wassalam
Eva novita
7 jan 2011
--sehari menjelang keberangkatan menuju Kairo—
